Entri Populer

Senin, 10 Januari 2011

Memahami ulang wanita dalam Islam

Memahami Ulang Wanita Dalam Islam; Sebuah Pandangan Fatima Mernissi



Dalam jajaran tokoh feminisme muslim modern, nama Fatima Mernissi mungkin berada di urutan teratas. Ia adalah seorang wanita muslim Arab pakar sosiologi yang mengamati masalah gender dalam kehidupan umat Islam. Masalah gender yang terutama ia amati dan ia beri perhatian khusus adalah masalah gender di negara kelahirannya, Maroko. Banyak karyanya berbicara tentang problem seksualitas dalam dinamika kehidupan sosial Maroko yang tidak terlepas dari Islam sebagai agama keyakinannya.

Suaranya lantang jika berkaitan dengan ketidakadilan pada wanita. Karya-karyanya tak jarang pedas pada laki-laki. Penulis banyak karya yang hampir keseluruhan berbicara masalah gender ini bukan hanya terkenal di negaranya saja. ia adalah tokoh feminis Internasional. Buku-bukunya banyak yang menjadi referensi bagi peneliti Barat yang ingin mengetahui lebih jauh tentang wanita dalam Islam.

Secara universal, pemikiran Mernissi sebenarnya ingin menampilkan keberpihakan Islam pada kesetaraan gender. Islam secara substantif tidak melarang wanita untuk berpolitik, berkarir, dan memperoleh pendidikan yang tinggi. Mernissi lebih lanjut ingin menunjukkan bahwa Islam mengakui hak-hak, status, dan peran wanita dalam hampir semua dimensi kehidupan.

Biografi dan Latar Belakang Kehidupan Mernissi


Fatima Mernissi lahir di Fez Maroko pada tahun 1940. “salah seorang feminis Arab-Muslim terkenal,” merupakan generasi pertama perempuan Maroko yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Dia kuliah di Universitas Muhammad V di Rabat, kemudian melanjutkan pendidikannya untuk menerima gelar doktornya dalam bidang sosiologi di Amerika Serikat pada tahun 1973.


Mernissi lahir dalam sebuah keluarga yang masih memegang tradisi bahwa wanita harus dibatasi ruang geraknya. Tradisi ini di Maroko disebut dengan harem (Harem disini tidak sebagaimana yang sering dipahami sebagai selir raja, akan tetapi lebih kepada pembatasan ruang gerak wanita). Sebagai wanita yang hidup dalam harem, ia sebagaimana ibu, nenek, dan bibinya tidak mudah untuk keluar rumah semaunya. Mereka harus izin terlebih dahulu pada seorang penjaga dan lebih dari itu ia tidak boleh keluar sendirian. Wanita dalam harem tidak bisa bebas bergerak, kebanyakan waktu mereka dihabiskan dalam rumah. Mernissi mendeskripsikan kemudian bagaimana wanita-wanita dalam harem menghadap langit dan bermimpi hal-hal sederhana seperti berjalan dengan bebas di jalan menjadi kenyataan.
Kendati Mernissi lahir dalam sebuah harem, akan tetapi ia tergolong beruntung masih bisa mendapatkan pendidikan. Hal ini kontra dengan para wanita dalam harem yang lebih senior darinya, mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan. Mernissi lahir di saat Maroko sedang dikuasai oleh kaum nasionalis yang sedang berupaya untuk memberikan pendidikan yang setara bagi laki-laki dan wanita dan berjanji untuk menghapuskan poligami serta mengangkat status wanita menjadi setara dengan laki-laki.

Dalam tahap awal pemikirannya, ia terutama terpengaruh oleh neneknya, Yasmina. Mernissi menggambarkan neneknya ini sebagai seorang yang kritis selain juga puitis. Mernissi sering mendengar cerita tentang Madinah dan Rasul dari neneknya itu. Mernissi tak menampik bahwa neneknya menceritakan bagaimana indahnya Madinah dan persamaan dihargai saat itu oleh Nabi. Ini yang kemudian menjadikan Mernissi terobsesi dengan Islam Madinah. Lebih lanjut, ia juga menjelaskan bahwa neneknya tidak sama dengan kebanyakan wanita Maroko saat itu yang tidak terlalu ambil pusing dengan perlakuan laki-laki terhadap mereka dalam kehidupan mereka. Baginya, neneknya adalah orang pertama yang menyadarkannya akan ketidakadilan perlakuan yang menimpa wanita.


Selain neneknya, ibunya juga merupakan seorang wanita yang berperan penting dalam membentuk Mernissi dewasa. Ibunya percaya bahwa laki-laki dan wanita memiliki potensi yang sama. Sehingga inferioritas di satu sisi dan superioritas di sisi lainnya tidak dapat diterima dan sebaliknya bertentangan dengan Islam. Ibunya menekankan pada Mernissi bagaimana cara bertindak dan bagaimana menjadi perempuan yang bijak. Lalu mengapa nenek dan ibunya sampai berpandangan demikian?


Rupanya kondisi Maroko saat itu yang menjadi penyebabnya. Kala itu Maroko terserang dan terjangkit pemahaman yang keliru tentang wanita. Wanita saat itu tidak lebih dari sekadar anak atau pun istri yang sangat minim sekali peran sosial serta politiknya. Tidak hanya itu, bahkan dalam kehidupan keluarga pun para wanita berada di bawah kekuasaan laki-laki. Intinya bahwa terjadi ketimpangan posisi, peran, dan hak, akibat perbedaan kelamin.


Berdasar dari pengalaman pribadi dan kontak sosialnya dengan masyarakat muslim ~yang terutama adalah wanita~ Maroko. Mernissi kemudian tertarik untuk mengamati masyarakat muslim di negaranya. Islam yang dipahaminya dalam bentuk nilai-nilai, seperti; kebebasan dan persamaan, baginya berbeda dengan Islam yang dipahami dan dipraktekkan muslim Maroko kala itu.


Kehidupan sosial umat muslim Maroko dalam pandangannya tidak mencerminkan nilai-nilai Islami yang sesungguhnya. Hampir seluruh aspek kehidupan, entah itu wanita dilihat sebagai masyarakat sipil maupun sebagai anggota pemerintahan, ketimpangan selalu saja ada. Meskipun konstitusi Maroko memberikan kepada kaum perempuan hak untuk memilih dan dipilih, realitas politik hanya memberikan kepada mereka hak yang disebut pertama. Dalam pemilihan umum legislatif tahun 1977, delapan orang perempuan yang mencalonkan diri tidak memperoleh dukungan dari enam juta pemilih, yang tiga juta diantaranya adalah kaum perempuan.[i] Enam tahun kemudian, dalam pemilihan kota praja tahun 1983, 307 orang perempuan memberanikan diri mencalonkan diri, dan hampir tiga setengah juta pemilih perempuan datang ke tempat pemungutan suara. Hanya 36 orang perempuan yang memenangkan pemilihan, dibanding dengan 65.502 orang laki-laki.[ii]


Dalam kapasitasnya sebagai seorang sosiolog, ia berargumen bahwa aspirasi wanita yang minim dalam perpolitikan, yakni terjun dalam dunia politik, mencerminkan bagaimana pemahaman kebanyakan wanita di Maroko. Wanita bersanding dengan politik tidak dapat dibenarkan oleh mereka. Setidaknya hasil pemilihan di atas membuktikan hal itu. Pemahaman ini dalam kaca mata Mernissi tidak begitu saja terbentuk, ia adalah proses sejarah masa lalu yang tetap dipertahankan hingga sekarang.


Tradisi; Islam atau bukan?


Corak masyarakat Maroko adalah Islami, lebih tepatnya Islami yang sesuai dengan tradisi. Hampir semua masyarakatnya; entah itu politisi, ekonom, maupun sipil, masih berpegang teguh dengan adat dan hukum Islam tradisional. Hal ini merupakan warisan yang secara estafet diperoleh dari kakek-nenek mereka.


Islam sebagai sebuah agama dalam kenyataanya memang mencakup hampir seluruh elemen kehidupan masyarakat muslim. Tidak politik, tidak juga ekonomi, hubungan sosial dan individual pun semuanya oleh Islam disediakan landasan hukum dan pandangan. Apa yang nampak dalam realita masyarakat dan pemerintahan Maroko juga memiliki landasan justifikasi dari Islam. Namun Mernissi dengan kritis mempertanyakan, apakah memang benar demikian kenyataannya (kenyataan yang terutama berkaitan dengan peran wanita)?


Mernissi mencoba masuk ruang ini yang bagi kebanyakan orang dan terutama wanita jarang disentuh. Mernissi hendak mempertanyakan keabsahan tindakan laki-laki terhadap wanita ~entah itu secara sosial, ekonomi, maupun keluarga~ yang terlihat lebih sebagai penindasan dan ketidakadilan.


Mernissi bahkan melangkah lebih jauh dengan melihat sejarah Islam dalam mengamati wanita. Ia selanjutnya mendapatkan bahwa ternyata sejarah tradisi Islam lebih banyak dibentuk oleh laki-laki. Dan dalam konteks Maroko, sejarah itu tetap dipertahankan. Bagi Mernissi sejarah itu tidaklah lain adalah bentukan laki-laki yang oleh mayoritas masyarakat Maroko diterima sebagai warisan nasional dan budaya yang nahasnya ‘terlihat’ dilegetimasi oleh Tuhan untuk kemudian dianggap Islami. Mengapa saya katakan ‘terlihat’, karena bagi Mernissi, sejarah itu ternyata tidak benar-benar otentik dan orisinil dari Islam. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sebenarnya sejarah ini hanya tradisi (bukan Islam) yang dalam terbentuknya tak lepas dari kepentingan laki-laki terhadap wanita. Kepentingan ini dalam pandangan Mernissi meliputi kepentingan politik dan seksual.


Mernissi terlihat sangat jengkel pada laki-laki, mengapa mereka bisa bergerak bebas sedangkan wanita tidak? Dalam pengantar bagi bukunya Beyond the Veil, ia melontarkan sebuah pertanyaan sederhana: “Mengapa saya tidak bisa berjalan-jalan dengan damai di sepanjang lorong-lorong kota Madinah yang saya sukai dan begitu saya nikmati? Saya merasa heran bagaimana masyarakat muslim membentuk pola ruang berdasarkan seksualitas, bagaimana ia memproyeksikan ke dalam ruang suatu pandangan yang khusus tentang seksualitas wanita?”[iii]


Di lain sisi, kala itu Maroko memang sedang dihadapkan dengan modernitas. Nilai-nilai yang sejak dulu sudah mapan seakan menemui rintangan untuk tetap dipertahankan. Demokrasi sebagai produk dari Barat yang menawarkan kebebasan dan kesetaraan bagi setiap manusia seakan memberi angin segar banyak wanita yang merasa jenuh dengan ketidakadilan, dan sebaliknya menjadi musuh bagi mereka yang masih memang teguh kepercayaan Islam tradisional. Hak Asasi Manusia (HAM) yang diprakarsai oleh PBB yang dengan jelas menyuarakan persamaan, kebebasan, dan kesetaraan bagi semua manusia rasanya juga memang harus terbentur dengan Islam kala itu.


Hijab sebagai bagian dari tradisi Islam adalah salah satu penghambat itu. Bagi Mernissi, hijab selain sebagai simbol bagi ketertutupan, kesucian, sebenarnya juga bermakna pengekangan bagi wanita. Hijab memisahkan jurang yang cukup lebar terkait dengan identitas seksual yang secara fungsional berimplikasi pada peran dan tugas masing-masing gender. Wanita dalam kegiatannya bersifat tertutup dan terbatas, sedangkan laki-laki tidak. Selain itu wanita juga harus taat terhadap laki-laki dalam berbagai hal. Hal ini bagi Mernissi dan juga wanita-wanita yang berpandangan non-fundamentalis sangatlah tidak adil. Inilah konflik yang terjadi, fundamentalis di satu sisi dan non-funfamentalis di sisi lainnya.


Dia ingin melihat Maroko dan dunia Arab bergerak melampaui apa yang dianggapnya sebagai sistem hukum abad ke-7[iv] menuju sistem hukum modern yang menderivasikan prinsip-prinsipnya berdasarkan kebutuhan masyarakat yang sedang berubah dan terus berkembang, karena kebutuhan itu juga berubah.[v] Menarik sebenarnya untuk mengetahui pembelaan Mernissi selanjutnya, untuk itu penting kiranya untuk melihat bagaimana pandangannya tentang Islam dalam kaitannya dengan wanita.


Penelusuran Hadits Misogini[vi]


Setelah disinggung di atas bahwa tradisi bukanlah Islam, lalu pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah; apakah pengucilan wanita dihadapan laki-laki sebenarnya adalah produk tradisi atau murni dari Islam? Kira-kira itulah pertanyaan mendasar yang ingin dicari jawabannya oleh Mernissi. Sosiolog asal Maroko ini merasa ada sesuatu yang aneh, tidak adil dan irrasional pada Islam jika ternyata Islam memang melegalkan superioritas lelaki di atas wanita dalam seluruh aspek.


Dengan keingintahuannya yang besar, Mernissi akhirnya terpanggil untuk menelusuri dan melakukan penelitian terhadap dua sumber Islam, al-Qur’an dan Hadits. Kitab-kitab klasik serta berbagai kitab tafsir tanpa canggung ia gunakan guna mendukung risetnya. Ini adalah usaha besar yang jarang sekali dilakukan seorang wanita muslim. Ihya’ Ulum ad-Din karya al-Ghazali, al-Muwaththa’ karya Imam Malik, koleksi hadits semisal hadits-hadits Bukhori-Muslim dan sejumlah karya Islam klasik seperti Sirat an-Nabi karya ibn Hisyam, dan kitab at-Tabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’ad, dan Tarikh karya at-Thabari adalah sederetan sumber-sumber Islam yang ia gunakan sebagai rujukan.


Usahanya ini mendapatkan hasil yang cukup signifikan guna mengungkap apa yang sebenarnya Islam inginkan dalam menanggapi relasi antara lelaki dan perempuan. Bukunya yang berjudul Women and Islam: An Historical and Theological Enquiry yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Wanita di Dalam Islam, mungkin adalah karyanya yang paling representatif dari hasil penelusurannya terhadap sumber-sumber Islam.


Apabila memperhatikan karyanya di atas, kita akan menemukan bagaimana gaya Mernissi dalam mendedah maksud ayat atau pun hadits. Mernissi dalam buku ini memang bisa dikatakan sebagai penafsir. Dan usahanya ini ia lakukan dengan cara; pertama, menunjukkan ayat dan hadits yang oleh kebanyakan orang bermakna sebagai inferioritas dan kerendahan posisi wanita. Kedua, menunjukkan kesalahan tafsir maupun pemahaman terhadap ayat atau menunjukkan akan ketidakshahihan suatu hadits. Usaha yang kedua ini ia lakukan dengan penulusuran historis yang panjang dengan berdasar pada sumber-sumber kitab Islam klasik. Tidak hanya itu, sebagai penyempurna dari apa yang ia dapat, ia pun juga memberikan analisis-analisis kritis terhadap sejarah Islam terkait dengan ayat dan hadits tentang perempuan.


Pada bab tiga dalam bukunya Wanita di dalam Islam. Ia mengutip sebuah hadits Bukhari yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah. Dalam hadits itu disebutkan: “Siapa yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita, mereka tidak akan pernah memperoleh kemakmuran”. Dalam menanggapi hadits ini, ia berusaha lebih jauh untuk mengetahui secara historis dan metodologis tentang perawinya, terutama, dalam kondisi bagaimanakah hadits ini pertama kali diucapkan, kapan, di mana, mengapa dan kepada siapa hadits ini diucapkan?


Kendati hadits ini terklasifikasi sebagai shahih dalam kumpulan hadits Bukhari, namun hal ini tidak mengendurkan niat Mernissi untuk tetap melakukan penyelidikan. Bagi Mernissi, hadist merupakan wilayah kajian ilmiah, dengan demikian tidak ada hambatan baginya untuk mendobrak benteng klasifikasi Bukhori yang mungkin oleh beberapa orang dianggap tabu.


Dari penelusurannya terhadap hadits ini, akhirnya ia menemukan bahwa ternyata perawi yang meriwayatkan hadits ini, yakni Abu Bakrah ternyata pernah melakukan pemfitnahan atau kebohongan. Dari segi keturunan pun, Abu Bakrah ~yang awalnya adalah seorang budak yang kemudian dibebaskan oleh Nabi~ tidak jelas. Dalam berbagai kitab klasik yang ditelusuri oleh Mernissi, ia tidak menemukan siapa ayah Abu Bakrah. Dalam penelitian lanjutan, dengan menggunakan pendekatan psiko-historis, ia mencoba memahami bagaimana Abu Bakrah mengeluarkan hadits ini. Fakta historis menjelaskan bahwa hadits tersebut muncul pada saat setelah Perang Jamal (perang unta), perang antara Imam Ali dengan Aisyah. Abu Bakrah saat itu sedang mengalami dilema antara memihak Ali sebagai khalifah yang sah dan sepupu Nabi dengan Aisyah sebagai isteri nabi. Kondisi Aisyah kala itu secara politis kalah total dan lebih dari 13 ribu pasukannya gugur dalam pertempuran. Ali sendiri telah mengambil alih kota Basrah (kota di mana Abu Bakrah tinggal) dan siapa saja yang tidak bergabung ke dalam barisannya harus memberikan alasan untuk membenarkan tindakannya.


Bagi Mernissi, fakta historis ini setidaknya dapat menjelaskan secara psikologis mengapa kemudian Abu Bakrah memilih untuk tidak memihak. Namun yang disesalkan adalah mengapa Abu Bakrah menjadikan jenis kelamin sebagai alasan penolakannya untuk terlibat dalam pertikaian politik itu. Kendati ia adalah seorang sahabat nabi yang bergaul cukup lama dengan nabi, namun dengan segenap kekurangan pada diri Abu Bakrah, maka hadits di atas yang pernah ia dengar dari Rasul harus ditolak.


Kaum fuqaha pun tidak sepakat terhadap pemakaian hadits tersebut bertalian dengan masalah wanita dan politik. Tak diragukan lagi, banyak yang menggunakan hadits ini sebagai argumen untuk menggusur kaum wanita dari proses pengambilan keputusan. Namun, banyak juga yang lain yang menyimpulkan bahwa argumen tersebut sama sekali meragukan dan tak berdasar.[vii]
Hadits di atas adalah hadits yang Mernissi dapatkan dalam realita kehidupannya –lebih spesifiknya hadits yang ia dengar dari seorang wanita sewaktu ia sedang bertanya pada seorang wanita pedagang di pasar tentang “bolehkan perempuan menjadi pemimpin?.” Wanita tersebut lalu menjawab dengan hadits yang dikutip di atas. Pun begitu hadits berikut yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yakni bahwa menurutnya “Rasulullah mengatakan bahwa anjing, keledai, dan wanita, akan membatalkan shalat seseorang apabila melintas di depan mereka, menyela dirinya antara orang yang shalat dan kiblat”. Hadits ini adalah hadits yang ia dapatkan saat ia berada di sekolah menengah. Pada saat itu, oleh gurunya ia sedang diajarkan pelajaran Sejarah Agama yang ditandai dengan pengenalan as-Sunnah. Gurunya mengutip beberapa hadits yang bersumber dari kitab Bukhari, dan hadits di atas adalah salah satunya. Mernissi merespon hadits ini dengan dingin. Baginya ada sesuatu yang janggal dari apa yang selama ini ia terima dan ketahui tentang Muhammad saw. Mernissi remaja yang saat itu berusia 16 tahun kritis terhadap hal ini. Baginya, bagaimana mungkin Nabi melukai hati wanita dengan menyejajarkannya dengan binatang? Sedang sejauh yang ia ketahui dari neneknya Yasmina, bahwa Nabi adalah seorang yang pengasih dan penyayang. Nabilah yang sangat lembut terhadap para isterinya.

Beranjak dewasa, penelusuran pun ia lakukan. Tak jarang ia menemukan berbagai hadits yang hampir serupa dalam merendahkan status wanita. Dalam konteks ini, penelusurannya terfokus pada sang perawi, Abu Hurairah, yang ternyata banyak hadits yang ia riwayatkan terkait dengan wanita. Mernissi mendedah Abu Hurairah secara historis yang meliputi siapa ia, mengapa ia meriwayatkan hadits demikian, dan berbagai aspek lainnya yang memungkinkan Mernissi menemukan siapa itu Abu Hurairah. Penelitiannya mengungkapkan bahwa Abu Hurairah adalah seorang yang ingatannya kurang bagus dan gemar dengan mudahnya menyebarkan hadits. Intinya bahwa ia adalah seorang yang kurang dipercaya. Dan nahasnya banyak dari hadits yang ia riwayatkan menjadi sumber dalam literatur keislaman.
Hal-hal yang terkait dengan wanita dalam Islam memang ingin ia dapatkan. Dengan melihat realita sekarang di mana beberapa ayat dan hadits disalahtafsirkan oleh beberapa orang untuk kepentingannya sendiri, Mernissi merasa terdorong untuk mencari Islam yang sebenarnya berkenaan dengan wanita dalam relasinya dengan laki-laki. Untuk itu, ia kemudian menawarkan untuk kembali ke Madinah.

Kembali Ke Madinah


‘Kembali ke Madinah’ adalah ajakan kembali ke zaman di mana Rasul hidup. Baginya dengan mengamati Madinah pada saat itu, kita akan menemukan posisi dan peran wanita yang sebenarnya dihargai oleh Islam. ‘Kembali ke Madinah’ bermakna lihatlah dan kembalilah pada bagaimana sikap Islam dalam memperlakukan wanita. Zaman sekarang ini dan bahkan setelah Rasul wafat, bagi Mernissi, telah dirasuki oleh tradisi-tradisi dan kebudayaan non-Islami yang sebenarnya berpangkal pada supremasi pria untuk menguasai wanita.


Merujuk pada masa pra-Islam, maka akan kita temukan bagaimana rendahnya perempuan. Ia tidak diperlakukan secara manusiawi dan sebaliknya hanya diperkukan sebagai pemuas hasrat seksual pria belaka. Kala itu, seorang pria yang kehilangan ayahnya dapat mewarisi janda ayahnya tersebut untuk kemudian dijadikan sebagai seorang isteri. Dan apabila si janda tidak diambil oleh si anak tadi, maka ia akan diambil oleh keluarga pria dari sukunya. Begitu juga dengan budak wanita yang diperlakukan semau majikannya. Intinya, wanita saat itu diasumsikan sebagai harta yang dapat diperjual-belikan, dimanfaatkan semaunya, atau pun diwariskan.


Islam datang di saat yang tepat. Banyak ayat yang mematahkan ketentuan dan kebiasaan lama pra-Islam. Misalnya dalam al-Qur’an disebutkan: “Sesungguhnya laki-laki muslim dan perempuan yang muslimah, laki-laki yang mu’min dan perempuan yang mu’minah, laki-laki yang taat dan perempuan yang taat, laki-laki yang benar dan perempuan yang benar…, maka Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. Dan ayat tentang warisan yang mencabut hak istimewa pria kala itu. Dalam ayat ini (Q.S. an-Nisa’: 37) dijelaskan bagaimana wanita tidak boleh diwariskan bahkan lebih dari itu mereka pun berhak mendapat warisan.


Prinsip-prinsip Islam yang revolusioner ini tentu mengangkat derajat wanita. Tak hanya itu, dengan ‘kembali ke Madinah’ kita akan menemukan bagaimana peran dan posisi wanita terbilang cukup signifikan. Mernissi pada tahap ini berbicara tentang isteri-isteri nabi dan yang terutama adalah Ummu Salamah dan Aisyah yang dalam sejarahnya banyak membantu misi nabi. Dari penulusuran secara historis tentang isteri-isteri Nabi, ia mendapatkan bahwa ternyata isteri-isteri Nabi dalam beberapa hal tidak hanya berperan di belakang layar, namun lebih dari itu, bersama-sama dilibatkan dalam masalah strategi.
Mernissi kemudian menggaris bawahi arsitektur rumah rasul dan isteri-isterinya dengan masjid yang berdekatan dan bersebelahan. Arsitektur Rasulullah menciptakan suatu ruang yang jarak antara kehidupan publik dan pribadi dihapus, di mana ambang pintu fisik bukanlah suatu hambatan. Ini adalah arsitektur yang membuat tempat tinggal terbuka begitu mudah ke dalam masjid, arsitektur yang memberikan peran penting di dalam kehidupan para wanita dan kaitan mereka dengan politik.[viii] Sebagaimana yang sejarah catat bahwa masjid kala itu adalah pusat penyebaran nilai-nilai keislaman selain juga sebagai pusat untuk berdiskusi tentang politik maupun strategi militer.

Kendati demikian, rupanya hal ini malah menjadi masalah lain yang menghambat Rasul dalam menjalankan misi kenabiannya. Mengingat pada saat itu, pelanggaran-pelanggaran dan serangan terhadap Rasulullah kerap kali terjadi. Orang sering datang ke rumah beliau tanpa permisi, orang sering berkunjung ke rumah beliau tanpa memperhatikan waktu. Implikasi dari hal ini adalah Rasul sebagaimana juga para isterinya merasa terganggu. Rasul pun mulai mengambil keputusan untuk memisahkan antara kehidupan publik dengan pribadi yang kemudian dilembagakan dengan turunnya ayat tentang hijab.


Kala itu sekitar tahun 5-7 H, Madinah sedang diguncang kondisi yang tidak aman. Para wanita termasuk juga isteri-isteri Nabi sering diganggu oleh orang munafik. Padahal di saat yang sama, kebebasan dan persamaan bagi wanita yang hendak ditegakkan oleh Islam baru tumbuh. Namun rupanya, orang-orang munafik dan bahkan orang-orang muslim sendiri masih tidak menerima hukum yang baru itu. Ada semacam kehilangan hak istimewa jika hukum ini dilaksanakan. Tentunya mereka tidak bisa lagi dengan mudah untuk menyalurkan hasrat seksual mereka terhadap para wanita dan memanfaatkan mereka untuk keuntungan ekonomis. Untuk itu, kaum munafik menganggu isteri-isteri Nabi dan wanita muslim untuk meminimalisir hak mereka dan supaya mereka tercegah dari memperoleh hak-hak lanjutan. Dalam menanggapi hal ini, Umar bin Khattab pun mendesak nabi untuk melembagakan hijab bagi para wanita muslim sehingga mereka tidak lagi diganggu.


Menurut Mernissi, Nabi sebenarnya tidak ingin hijab dipahami sebagai untuk memojokkan, menghalang-halangi, dan menyembunyikan wanita. Namun rupanya kebebasan yang diberikan Islam bagi wanita ternyata memang mengalami perlawanan yang kuat dari orang-orang Arab kala itu yang masih kuat pendiriannya untuk memandang rendah wanita. Terkait dengan hal ini, lalu turunlah ayat: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[ix]


Dalam pandangan Mernissi, Nabi sedang mengalami masa sulit dalam mencapai impiannya agar wanita bisa bebas berjalan-jalan di seputar kota, sedang di lain pihak para pria tak bertanggung jawab yang menuhankan hawa nafsunya tak henti-hentinya mengganggu para wanita muslim. Mungkin Mernissi hendak mengatakan bahwa ayat al-Qur’an yang turun di atas itu adalah suatu bentuk ‘jalan aman’ tanpa mengorbankan para wanita, kendati konsekuensinya gerak-gerik wanita menjadi terbatas. Masih menurut Mernissi, keadaan yang terakhir inilah yang ternyata lebih mengemuka di hari-hari kemudian.


Penutup


Dengan latar belakangnya sebagai seorang sosiolog, Mernisi memang cenderung melihat segala sesuatunya dari sudut pandang sosiologi. Ia hampir tidak melihat dari sudut pandang yang lain, semisal teologi. Dan sampai tataran ini, kalau boleh sedikit mengkritik, sebenarnya saya pribadi tidak setuju dengan cara Mernissi menafsirkan ayat. Mengingat untuk menafsirkan suatu ayat terdapat beberapa hal yang mesti diketahui dan diperhatikan, dan tidak melulu dilihat dari sudut pandang sosiologis. Kendati pada saat yang sama melihat ayat dari sudut pandang sosiologis bisa membantu sesorang dalam memahami suatu ayat. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika bisa mengkompromikan beberapa pendekatan dalam menafsrikan suatu ayat.


Meskipun penelitiannya tentang kondisi perempuan Arab pada dasarnya terkait dengan Maroko modern, tetapi pandangan dan kesimpulannya dapat membantu memahami kondisi-kondisi perempuan Arab di mana pun yang serupa, khususnya ketika gaya hidup tradisional Islam tetap berlangsung dan modernitas sedang berjuang mengukuhkan dirinya.


Pandangan Mernissi banyak diamini oleh para wanita yang tak lagi nyaman dengan pengekangan dan ketidakadilan. Dan dalam kaitannya dengan Maroko, ia secara tegas mengatakan bahwa serangkaian hukum dan adat yang ada kala itu salah. Baginya, adat dan hukum itu tidaklah lain adalah upaya laki-laki dalam menjamin agar status wanita tetap berada dalam kepatuhan terhadapnya. Pandangan ini bisa jadi tergolong liberal bagi mereka yang masih kental dengan tradisi (semisal perjodohan, wanita harus taat secara mutlak pada suami, wanita tidak boleh keluar rumah, tidak boleh berperan dalam politik, dll). Namun sebaliknya pandangan ini di saat yang sama malah memberikan kesempatan bagi terealisasinya persamaan gender menjadi terbuka lebar.


Mernisi meramal bahwa di tahun-tahun yang akan datang pemisahan gender di negara-negara Arab akan semakin berkurang. Mengingat modernisasi dan kebutuhan ekonomi, serta cinta dalam unit keluarga menjadi sangat bernilai dan diharapkan, sehingga hal ini berpotensi besar untuk membawa laki-laki dan perempuan Arab mencapai persesuaian untuk kemudian menyelesaikan ketegangan sosial dan emosional yang mereka rasakan.

[i] Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-isu global, Paramadina, 2003, h. 157.
[ii] Ibid, h. 158
[iii] Fatima Mernissi, Beyond The Veil: Seks dan Kekuasaan, ALFIKR, 1997, h. 35.
[iv] Beberapa hukum Maroko saat itu tidak lain adalah sebuah kodifikasi serangkaian artikel yang terdiri dari bagian dan sub-bagian prinsip-prinsip hukum tradisional Imam Malik dalam mengatur keluarga.
[v] Issa J. Boulatta, Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, LKIS, 2001, h. 188.
[vi] Hadits misogini adalah hadits yang dalam redaksinya terdapat ungkapan membenci atau merendahkan wanita.
[vii]Fatima Mernissi, Wanita di Dalam Islam, Pustaka, 1994, h. 78.
[viii]Ibid, h. 144.
[ix] Q.S. Al-Ahzab: 59.

Referensi

Mernissi, Fatima, 1994. Wanita di Dalam Islam, Bandung: Pustaka.

Kurzman, Charles, 2003. Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang isu-isu global, Jakarta; Paramadina.

J. Boulatta, Issa, 2001. Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta: LKIS.
Mernissi, Fatima, 1997. Beyond The Veil: Seks dan Kekuasaan, Surabaya: ALFIKR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar