Entri Populer

Senin, 10 Januari 2011

Perbedaan antara cinta dan metro mini

Perbedaan Antara Cinta dan Metro Mini


Dipenghujung shownya di metro mini, seorang pengamen berkata, “kalau saya ditanya apa perbedaan antara cinta dengan metro mini, jawabannya simple aja. Kalau cinta itu jauh dimata dekat dihati, tapi kalau metro mini, jauh-dekat Rp 2000.” Dalam hati ku bergumam, “ternyata retorika pengamen ini untuk menarik perhatian audiensnya boleh juga”.

Sebut saja nama pengamen itu, abdul. Di tengah himpitan ekonomi yang semakin mencekik, dan ditengah susahnya mencari uang di Ibu Kota, abdul terdorong untuk menjadi lebih atraktif guna manarik ‘rasa memberi’ (sense of giving) orang untuk mengeluarkan uang seadanya padanya. Abdul boleh jadi merupakan salah satu dari sekian pengamen ibu kota yang melihat pentingnya retorika atraktif yang dapat menghibur kepenatan, kecape’an, atau bahkan kesumpekan audiensnya.

Bagiku, saat itu abdul memang berbeda dengan pengamen lainnya yang kebanyakan hanya menyanyi sebentar lalu meminta sedekah dari audiensnya. Abdul saat itu begitu menghibur. Tanpa bermaksud menyepelekan atau mengkerdilkan pengamen-pengemen lainnya untuk berubah seperti abdul. Tetapi, sebenarnya yang ingin aku garis bawahi adalah bagaimana usaha seseorang untuk bisa bermanfaat bagi selainnya. Bukannya hal aneh, apabila kita menemukan banyak juga dari pengamen yang alih-alih menghibur malah tambah membuat kita ill feel. Kalau kita menganggap suatu usaha itu ada harganya yang sepadan, maka apa yang dilakukan abdul bisa jadi sepadan dengan apa yang telah diperolehnya.


‘Sense of giving’ pada setiap orang itu memang berbeda-beda, dan untuk memunculkan sense itu pada seseorang itu perlu dilakukan suatu usaha, entah itu dengan menarik simpatinya atau dengan retorika atraktif ‘ala abdul. Bagiku apa yang pengamen, pengemis, atau peminta-minta lakukan adalah sebuah usaha. Kita tak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya atas apa yang telah mereka lakukan. Mengingat realita sosial-ekonomi dan sumber daya manusia kita yang timpang.


Suatu kali disebuah toko, ada seorang wanita peminta-minta menyambangi toko yang aku berada di dalamnya. Kebetulan di dalam toko itu juga ada seorang pembeli. Pembeli itu sudah cukup tua, tapi entah kenapa pola pikirnya masih terlalu sederhana. Ia berkata padaku seraya membelakangi si peminta-minta tadi, “hei nak.., jangan kamu kasih duitmu sama orang yang meminta-minta itu. Dia itu padahal masih muda tapi malas. Dia itu gak berusaha untuk mencari duit (maksudnya selain dengan cara mengemis). Biarkan dia berusaha untuk mencari kerja dan tidak meminta-minta.” Mendengar hal itu, aku hanya menanggapinya dengan senyum.


Setidaknya menurutku ada dua hal yang harus kita perhatikan dalam menanggapi hal ini, pertama, kita tidak tahu secara pasti apakah si pengemis itu berusaha untuk mencari usaha atau pekerjaan selain mengemis ataukah tidak. Boleh jadi dia sudah mencari pekerjaan kemana-mana namun tak kunjung mendapatkannya. Kita tak bisa secara sederhana mengatakan bahwa karena ia mengemis, maka ia malas berusaha. Kadang apa yang tampak di luar tidak selalu menggambarkan atau merepresentasikan keadaan yang di dalam. Bukankah Islam mengajarkan dan menganjurkan pada kita untuk khusnu dhann (berperasangka baik).


Pandangan filsafat mengajarkan pada-ku untuk tidak melihat sesuatu secara parsial, tapi lihatlah sesuatu itu secara universal, kompleks dan dari banyak sisi. Karena apabila kita melihat sesuatu hanya dari satu sisi dan parsial saja, jatuhnya kita akan terjebak dan hal itu mereduksi keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, pandangan filsafat mengajarkan agar kita tidak melihat suatu dari luarnya saja, tapi lebih dari itu melilhat masuk ke dalam hingga ke akar-akarnya (radix). Tujuannya adalah kita diharapkan mendapatkan pemahaman yang menyeluruh dan benar-benar menggambarkan keadaan yang sebenarnya.


Kedua, kita tidak bisa menyalahkan para pengemis atas nasib yang ditimpa mereka. Mengingat relita sosial-ekonomi saat ini yang tidak adil. Aku yakin para pengamen, pengemis, dan peminta-minta itu memiliki mentalitas kuat untuk bekerja. Ya mereka memiliki semangat dan etos kerja (walau mungkin tidak semuanya). Tetapi itulah, struktur sosial kita tak mau menampung mereka. Harus tinggi sekian-lah, harus putih, menarik, punya ijazah SMA, SI, menyediakan duit sekian, dan lain-lainnya.


Untuk itu saran saya, kalau anda misalnya tidak ingin memberi, ya sudah. Tapi jangan menghardik atau menghinanya. Mereka memang tidaklah seberuntung kita yang sudah diberi kemapanan dalam rezeki. Ketidakmampuan dalam bekerja selain mengemis atau yang semisal dengannya bukan berarti merendahkan martabat mereka.


Wallahu a’lam bisshawab…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar